Jumat, 18 Oktober 2013

Etika profesi HUKUM TUGAS Ke-2


Nama : R. Hudy Adinurwijaya
Npm   : 25210478
Kelas-: 4EB23

ETIKA PROFESI HUKUM
Pengertian Etika
Etika atau dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang mengandung arti : Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dgn akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap. Aristoteles adalah filsuf pertama yang berbicara tentang etika secara kritis, reflektif, dan komprehensif. aristoles pula filsuf pertama yang menempatkan etika sebagai cabang filsafat tersendiri. Aristoteles dalam konteks ini lebih menyoal tentang hidup yang baik dan bagaimana pula mencapai hidup yang baik itu. yakni hidup yang bermutu/bermakna ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. menurut Aristoteles  denaih apa yang mencapai tujuan hidupnya berarti manusia itu mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. manusia ingin meraih apa yang apa yang disebut nilai (value), dan yang menjadi tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan, eudaimonia.
Perilaku menjadi obyek pembahasan etika, karena dalam perilaku manusia menampakkan berbagai model pilihan atau keputusan  yang masuk dalam standar penilaian atau evaluasi, apakah perilaku itu mengandung kemanfaatan atau kerugian baik bagi dirinya maupun bagi orang lain
Fungsi Etika
Di era modernisasi dengan segala kecanggihan yang membawa perubahan dan pengaruh terhadap nilai-nilai moral, adanya berbagai pandangan ideologi yang menawarkan untuk menjadi penuntun hidup tentang bagaimana harus hidup dan tentunya kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral sehingga bingung harus mengikuti moralitas yang mana, untuk itu sampailah pada suatu fungsi utama etika, sebagaimana disebutkan Magnis Suseno (1991 : 15), yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan.
Pengertian Profesi
Profesi dalam kamus besar bahasa indonesia adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. jenis profesi yang dikenal antara lain : profesi hukum, profesi bisnis, profesi kedokteran, profesi pendidikan (guru). menurut Budi Santoso ciri-ciri profesi adalah
a. suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang
b. suatu teknis intelektual;
c. penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis ;
d. suatu periode panjang untuk suatu pelatihan dan sertifikasi;
e. beberapa standar dan pernyatan tentang etika yang dapat diselenggarakan;
f. kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;
g. asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota;
h.pengakuan sebagai profesi;
i. perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi;
j. hubungan erat dengan profesi lain.


Etika Profesi
Etika profesi adalah bagian dari etika sosial, yaitu filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagia anggota umat manusia (Magnis Suseno et.al., 1991 : 9). untuk melaksanakan profesi yang luhur itu secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari pelakunya ( Magnis Suseno et.al., 1991 : 75). Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah :
1.         Berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi.
2.         Sadar akan kewajibannya, dan
3.         Memiliki idealisme yang tinggi.
Profesi Hukum
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil, 2003 : 8). profesi hukum dari aparatur hukum negara Republik Indonesia dewasa ini diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Pengemban profesi hukum harus bekerja secara profesional dan fungsional, memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan. kritis, dan pengabdian yang tinggin karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri dan sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengemban profesi hukum bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.
Nilai Moral Profesi Hukum
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut agar memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum.
1. Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu :
a. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan/keikhlasan melayani atau secara cuma-cuma
b. Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras

2. Otentik
Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain :
a. tidak menyalahgunakan wewenang;
b. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (malkukan perbuatan tercela;
c. mendahulukan kepentingan klien;
d. berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu atasan;
e. tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.

3. Bertanggung Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib bertanggung jawab, artinya :
a. kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya ;
b. bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma 
(prodeo);
c. kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.

4. Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan memebetuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan nilai kesusilaan dan agama.
5. Keberanian Moral
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain :
a. menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;
b. menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah.

Etika Profesi Hukum
Dari hasil uraian diatas dapat kita rumuskan tentang pengertian etika profesi hukum sebagai berikut : Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum yang berlaku dalam suatu negara. sesuai dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Penasihat hukum(advokad, pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.
Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika. Urgensi etika adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor kehidupan manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang wajib dipijaki, kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat ditegakan nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan, keempat, dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima, dapat dihindarkan terjadinya free fight competition dan abus competition dan terakhir yang dapat ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh pada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan kehidupan dapat berlangsung dengan baik.
Urgensi atau pentingnya ber'etika sejak jaman Aristoteles menjadi pembahasan utama dengan tulisannya yang berjudul " Ethika Nicomachela". Aristoteles berpendapat bahwa tata pegaulan dan penghargaan seorang manusia, yang tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain. Pandangan aristoles ini jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan kepedulian dan tuntutan memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada etika, kehidupan manusia manjadi jauh lebih bermakna, jauh dari keinginan untuk melakukan pengrusakan dan kekacauan-kekacauan.
Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam kaidah-kaidah etika memeng menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan melanggar hak-hak orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.
Dampak Penegakan Dan Pelanggaran Etika.
Penyair Syauqi Beg Menyebutkan "sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai ahklak (moral) yang mulia, maka apabila ahklak mulianya telah hilang. maka hancurlah bangsa itu". Manusia memang sering kali bersikap dan berperilaku yang berlawanan dengan norma yang sudah dipelajari dan dipahaminya.  Norma moral memang sudah banyak dipahami oleh kalangan komunitas terdidik (aparatur negara) ini, tetapi mereka masih juga melihat pertimbangan kepentingan lain yang perlu, dan bahkan harus didahulukan dengan cara mengalahkan berlakunya norma moral (akhlak). contoh-contoh kasus yang merupakan dampak dari pelanggaran etika banyak di jumpai masyarakat atau dalam perjalanan kehidupan bangsa ini. perilaku orang kecil (kalangan miskin) yang melanggar norma moral sangat berbeda akibatnya jika dibandingkan dengan perilaku pejabat atau aparatur negara. Kalau pejabat atau aparatur negara yang melakukan penyimpangan moral, maka dampaknya bukan hanya sangat terasa bagi keberlanjutan hidup bermasyarakat dan bernegara, tetapi juaga terhadap citra institusi yang menjadi pengemban tegaknya moral. Masyarakat tanpa akhlak mulia sama seperti masyarakat rimba dimana pengaruh dan wibawa diraih dari keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas akhlak dalam diri. manusia yang mengabaikan etika kehidupan itulah yang membuat bumi ini sakit parah, menjadi korban keteraniayaan, atau mengalami kerusakan berat. kerusakan ini tidak lagi membuat bumi menjadi damai, bahkan sebaliknya menuntut tumbal yang mengerikan yang barangkali tidak terbayangkan dalam pikiran manusia. Banyaknya kasus yang terjadi dan akibat yang ditimbulkan lua biasa, maka ini menunjukan bahwa dampak dari pelanggaran etika atau penyimapangan moral tidaklah main-main. pelanggaran moral telah terbukti mengakibatkan problem serius di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia. Kondisi masyarakat tampak demikian tidak berdaya, menjauh dari hak kesejahteraan, hak keadilan, hak pendidikan yang berkualitas, hak jaminan kesehatan dan keselamatan, adalah akibat pelanggaran moral yang sangat kuat.
Eksistensi Etika Profesi Hukum
Pameo "ubi societas ibi ius" (dimana ada masyarakat, disana ada hukum) sebenarnya mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial yang bersifat universal. Dalam setiap masyarakat, mulai dari yang paling modern sampai pada masyarakat yang primitif, terdapat gejala sosial yang disebut hukum, apapun namanya. Bentuk dan wujudnya berbeda-beda, tergantung pada tingkat kemajemukan dan peradapan masyarakat yang bersangkutan. Istilah-istilah yang bermunculan di masyarakat pun tidak berbeda dengan apa dengan apa yang dialami dengan istilah hukum, yakni seiring dengan perkembangan (dinamika) yang terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat. Di tengah masyarakat terdapat pelaku-pelaku sosial, politik, budaya, agama, ekonomi, dan lainnya, yang bisa saja melahirkan istilah-istilah atau makna varian sejalan dengan tarik menarik kepentingan. Perkembangan istilah-istilah yang diadaptasikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat kerapkali menyulitkan kalangan ahli-ahli bahasa, terutama bila dikaitkan dengan penggunaan bahasa yang dilakukan di lingkungan jurnalistik media cetak. Perkembangan pers yang mengikuti target-target globalisasi informasi, industrialisasi atau bisnis media, dan transformasi kultural, politik dan ekonomi yang berlangsung cepat telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan pergeseran serta pengembangan makna, istilah, atau kosakata. Misalnya kata profesi cukup gampang diangkat dan dipakai oleh bermacam-macam pekerjaan, perbuatan, perilaku dan pengambilan keputusan. Kata profesi mudah digunakan sebagai pembenaran terhadap aktifitas tertentu yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang.
Kata pekerjaan itu sebagai hak (right) secara yuridis juga dapat ditemukan dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 sebagai berikut :
1. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat   ketenagakerjaan.
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan kerja yang sepandan dengan martabat kemanusiaan berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.

Thomas Aquinas menyatakan, bahwa setiap wujud kerja mempunyai empat tujuan sebagaimana berikut :

1. Dengan bekerja, orang dapat memenuhi apa yang yang menjadi kebutuhan hidup sehari-harinya.
2. Dengan adanya lapangan pekerjaan, maka pengangguran dapat dihapuskan/dicegah. Hal ini juga berarti, dengan tidak adanya pengangguran, maka kemungkinan timbulnya kejahatan (pelanggaran hukum) dapat dihindari pula.
3. Dengan surplus hasil kerjanya, manusia juga dapat berbuat amal bagi sesamanya.
4. Dengan kerja, orang dapat mengontrol atau mengendalikan gaya hidupnya.

Menurut Liliana Tedjosaputro, suatu lapangan kerja itu dapat dikategorikan sebagai profesi diperlukan :
Ciri-ciri khas profesi dalam international encyclopedia of education adalah sebagai berikut :
1. Suatu bidang yang terorganisasi dari teori intelektual yang terus menerus berkembang dan diperluas;
2. Suatu teknik intelektual;
3. Penerapan praktis dan teknik intelektual pada urusan praktis;
4. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikatisasi;
5. Beberapa standar dan pernyataan tentang etika profesi yang dapat diselenggarakan;
6. Kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;
7. Asosiasi dari anggota-anggota profesi menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota;
8. Pengakuan sebagai profesi;
9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi;
10. Hubungan yang erat dengan profesi lain.

Profesi hukum memiliki tempat yang istimewa ditengah masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan eksistensi konstitusional kenegaraan yang telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum (rechstaat). Profesi hukum  pun berangkat dari suatu proses, yang kemudian melahirkan pelaku hukum yang andal. Penguasaan terhadap perundang-undangan, hukum yang sedang berlaku dan diikuti dengan aspek aplikatifnya menjadi substansi profesi hukum. Tanggung jawab seorang yang profesional, menurut Wawan Setiawan, paling tidak harus bertanggung jawab kepada :
1. Klien dan masyarakat yang dilayaninya;
2. Sesama profesi dan kelompok profesinya;
3. Pemerintah dan negaranya.

Fungsi Kode Etik Profesi Hukum
Terjadinya pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran karena kebutuhan ekonomi yang terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikis yang seharusnya berbanding sama. Usaha penyelesaiannya adalah tidak lain harus kembali kepada hakikat manusia dan untuk apa manusia itu hidup. hakikat manusia adalah mahkluk yang menyadari bahwa yang benar, yang indah dan yang baik adalah keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia. Etika sangat diperlukan karena beberapa pertimbangan (alasan) berikut :
1. kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita bingung harus mengikuti moralitas yang mana.
2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menantang pandangan-pandangan moral tradisional.
3. Adanya pelbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup yang masing-masing dengan alasannya sendiri mengajarkan bagaimana manusia harus hidup.
4. Etika juga diperlukan oleh kaum beragama yang di satu pihak diperlukan untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka, dilain pihak mau berpastisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.

Ada dimensi fungsional mengapa etika itu perlu dituangkan dalam kode etik profesi :
1. Menjelaskan atau menetapkan tanggung jawab kepada klien, institusi dan masyarakat. ada sasaran konvergensi tanggung jawab yang dituju, yakni bagaimana hak-hak istimewa klien, kelembagaan dan masyarakat dapat ditentukan dan diperjuangkan. pengemban profesi mendapatkan kejelasan informasi dan "buku pedoman" mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan, sementara klien, lembaga dan masyarakat pun secara terbuka mengetahui hak-haknya.

2. Membantu tenaga ahli dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat jika menghadapi problem dalam pekerjaannya. Problem yang dihadapi seperti munculnya kasus-kasus hukum baru yang penanganannya membutuhkan kehadiran ahli atau diluar kemampuan spesifikasi adalah membutuhkan pedoman yang jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan dan kekeliruan, sehingga kalau sampai terjadi seorang ahli itu misalnya tidak mampu menyelesaikan problem yang dihadapinya tidaklah lantas dipersalahkan begitu saja.
3. Diorientasikan untuk mendukung profesi secara bermoral dan melawan perilaku melanggar hukum dan indispliner dari anggota-anggota tertentu. Pengemban profesi (hukum) mendapatkan pijakan yang dapat dijadikan acuan untuk mengamati perilaku sesama  pengemban profesi yang dinilai melanggar hukum. Dengan keberadaan kode etik, akan lebih muda ditentukan bentuk, arah dan kemanfaatan penyelenggaraan profesi hukum.
4. Sebagai rujukan untuk menjaga prestasi dan reputasi, baik secara individu maupun kelembagaan.

Ada beberapa fungsi kode etik :
1. Kode etik sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan semacam kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesional yang telah digariskan.
2. Kode-kode etik profesi mencegah pengawasan atau campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui agen atau pelaksanannya.
3. kode etik adalah untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi. Kode etik ini dasarnya adalah suatu perilaku yang sudah dianggap benar serta berdasarkan metode prosedur yang benar pula.
Kode etik profesi dapat dijadikan pedoman untuk memberdayakan, kemahiran, spesifikasi atau keahlian yang sudah dikuasai oleh pengemban profesi. Dengan kode etik, pengemban profesi dituntut meningkatkan karier atau prestasi-prestasinya. Kalau itu merupakan kode etik profesi hukum, maka pengemban profesi hukum dituntut menyelaraskan tugas-tugasnya secara benar dan bermoral. Kode etik menjadi terasa lebih penting lagi kehadirannya ketika tantangan yang menghadang profesi hukum makin berat dan kompleks, khususnya ketika berhadapan dengan tantangan yang bersumber dari komunitas elit kekuasaan. sikap elit kekuasaan terkadang bukan hanya tidak menghiraukan norma moral dan yuridis, tetapi juga mempermainkannya.
Profesi Hukum dan Manajemen Hukum
" Manajemen hukum punya hubungan yang istimewa dengan profesi hukum. Dengan manajemen yang baik, citra profesi hukum akan jadi lebih baik. Sebaliknya, dengan manajemen yang buruk, citra profesi hukum akan menjadi buruk. Manajemen menjadi ukuran kinerja pengemban profesi hukum".
Profesi adalah sebuah sebutan atau jabatan dimana orang yang menyandangnya mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui training atau pengalaman lain, atau bahkan diperoleh melalui keduanya, sehingga penyandang profesi dapat membimbing atau memberi nasehat/saran atau juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri. Pelayanan ini sudah masuk dalam kategori manajemen yang bertalian dengan kepentingan masyarakat, publik atau klien.
Perlu diketahui lebih dulu, bahwa ada beberapa ciri khusus yang terdapat dalam pandangan umum tentang profesi, yaitu :
a. Persiapan atau training khusus. Sebuah persiapan adalah tindakan yang di dalamnya termuat pengetahuan yang tepat mengenai fakta fundamental dimana langkah-langkah profesional mendasarkan diri, demikian juga dengan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dengan cara yang praktis.
b. Merujuk pada keanggotaan yang permanen, tegas dan berbeda dari keanggotaan yang lain. kebanyakan negara dan masyarakat profesi atau kegiatan profesionalnya, maka setiap orang dituntut memiliki sertifikat, ijij usaha ataupun ijin praktik.
c. Aseptibilitas sebagai motif pelayanan. Aseptibilitas atau kesediaan menerima, sebagai kebalikan motif menciptakan uang, adalah ciri khas dari semua profesi pada umumnya. Cita-cita sebuah profesi adalah pelayanan umum dan bukan pertama-tama menciptakan uang.
Masalah-Masalah Profesi Hukum
Dalam pembahasan profesi hukum, Sumaryono (1995) menyebutkan lima masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius, yaitu :
(a) Kualitas pengetahuan profesional hukum;
(b) Terjadi penyalahgunaan profesi hukum;
(c) Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis;
(d) Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial;
(e) Kontinuasi sistem yang sudah usang.

1.      Kualitas Pengetahuan Profesional Hukum
Setiap profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum sebagai penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional. Hal ini sudah menjadi tujuan pendidikan tinggi bidang hukum. Menurut ketentuan pasal 1 Keputusan Mendikbud No. 17/Kep/O/1992 tentang Kurikulum Nasional Bidang Hukum, program pendidikan sarjana bidang hukum bertujuan untuk menghsilkan sarjana hukum yang :
(1) Menguasai hukum Indonesia;
(2) Mampu menganalisa hukum dalam masyarakat;
(3) mampu menggunakan hukm sebagai sarana untuk memecahkan masalah konkret dengan bijaksana dan tetap berdasarkan prinsip-prinsip hukum;
(4) Menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum;
(5) Mengenal dan peka akan masalah keadilan dan maslah sosial;

Tujuan tersebut dapat dicapai tidak hanya melalui program pendidikan tinggi hukum, melainkan juga berdasarkan pengalaman setelah sarjana hukum bekerja menurut masing-masing profesi bidang hukum dalam masyarakat.
Hukum adalah norma yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Tugas utama profesional hukm adalah mengartikan undang-undang secara cermat dan tepat. Di samping itu, profesional hukum juga harus mampu membentuk undang-undang baru sesuai dengan semangat dan rumusan tata hukum yang telah berlaku. Keahlian yang diperlukan adalah kemampuan teoritis dan teknis yang berakar pada pengetahuan yang mendalam tentang makna hukum, dan membuktikan kemampuan diri menanamkan perasaan hukum dalam masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa.
Profesional hukum yang bertugas di bidang perundang-undangan berusaha agar undang-undang yang dibuat itu tepat dan berguna. Pada kesempatan ini prinsip-prinsip etika (ketaatan moral)digunakan sebagai ukuran hukum yang baik. Apabila pembentuk undang-undang tidak dibekali dengan ketaatan moral, maka undang-undang buatannya itu tidak lebih dari nasihat atau petunjuk belaka, tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dapatkah ketaatan moral itu dipaksakan dalam hukum? jawabannya diketahui dari rumusan hukum positif.

1. Alasan Mengabaikan Kode Etik Profesi.
Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode etik profesi karena beberapa alasan yang paling mendasar , baik sebagai individu anggota masyarakat maupun karena hubungan kerja dalam organisasi profesi, disamping sifat manusia yang konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang diberikan. Atas dasar faktor-faktor tersebut, maka dapat diinventarisasi alasan-alasan mendasar mengapa profesional cenderung mengabaikan dan bahkan melanggar kode etik profesi.

(a) Pengaruh Sifat Kekeluargaan
Salah satu ciri kekeluargaan itu memberi perlakuan dan penghargaan yang sama terhadap anggota keluarga dan ini dipandang adil. Perlakuan terhadap orang bukan keluarga lain lagi. hal ini berpengaruh terhadap perilaku profesional hukum yang terikat pada kode etik profesi, yang seharusnya memberi perlakuan sama terhadap klien.
Contoh, Amat keluarga notaris minta dibuatkan akta hibah, notaris membebaskannya dari biaya pembuatan akta dengan alasan tidak enak menarik biaya dari keluarga sendiri. Kemudian datang Bondan, juga minta dibuatkan akta dengan membayar biaya yang telah ditentukan jumlahnya. Amat dan Bondan keduanya adalah klien yang seharusnya mendapat perlakuan sama menurut Kode Etik Notaris, tetapi nyatanya lain. Kode etik profesi diabaikan oleh profesional.
Seharusnya masalah keluarga dipisahkan dengan masalah profesi dan ini adalah adil. Dalam contoh kasus tadi, notaris seharusnya menarik bayaran dari mereka berdua karena sama-sama klien. Setelah pulang dari kantor, notaris tadi datang ke Amat keluarganya, menghadiahkan uang bayaran akta yang telah diterimanya dari Ahmat. Ini masalah keluarga bukan profesi. Dengan cara demikian, notaris tidak perlu mengabaikan Kode Etik Notaris.
(b) Pengaruh Jabatan
Salah satu ciri jabatan adalah bawahan menghormati dan taat pada atasan dan ini adalah ketentuan undang-undang kepegawaian. Fungsi eksekutif terpisah dengan fungsi yudikatif. Seorang hakim memegang dua fungsi sebagai pegawai negeri sipil dan sebagai hakim. menurut Kode Etik Hakim, hakim memutus perkara dengan adil tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun.
Perkara yang diperiksa oleh hakim tadi ternyata ada hubungannya dengan seorang pejabat yang adalah atasannya sendiri. Dalam kasus ini di satu pihak hakim cenderung hormat pada atasan dan bersedia membela atasan sebab kalau tidak, mungkin hakim tadi akan dipersulit naik pangkat atau akan dimutasikan. Di pihak lain, pejabat mempunyai pengaruh terhadap bawahan dan karena itu mengirim ketebelece (nota) kepada hakim, tolong selesaikan perkara tersebut dengan sebaik-baiknya (konotasinya bela atasanmu), bukan seadil-adilnya. Seharusnya hakim berlaku adil dan tidak memihak, tetapi nyatanya memihak atasannya. Sekali lagi, kode etik profesi diabaikan oleh profesional.
Seharusnya masalah jabatan dipisahkan dengan masalah profesi dan ini adalah adil. Hakim memeriksa perkara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan Kode Etik hakim, dan sesuai pula dengan saran katebelece atasannya (dengan sebaik-baiknya), sehingga putusannya pun sebaik-baiknya (versi hakim seadil-adilnya) karena hakim bekerja secara fungsional bukan
secara struktural. Dengan demikian, hakim tidak mengabaikan atasannya dan tidak pula mengabaikan Kode Etik Hakim.
(c) Pengaruh Konsumerisme
Gencarnya perusahaan-perusahaan mempromosikan produk mereka melalui iklan media massa akan cukup berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan yang tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima oleh profesional. hal ini mendorong profesional berusaha memperoleh penghasilan yang lebih besar melalui jalan pintas atau terobosan profesional, yaitu dengan mencari imbalan jasa dari pihak yang dilayaninya.
Contoh, seorang dosen dengan gaji yang diterimanya cukup untuk biaya hidup, tetapi karena kebutuhan hiburan mendorongnya untuk membeli perabotan yang mewah. Untuk memperoleh uang dia menawarkan kolusi dengan mahasiswa yang diujinya : kalau ingin dibantu, saya bersedia membantu supaya lulus mendapat nilai A asalkan ada tanda terima kasihnya (maksudnya imbalan uang berupa uang yang sudah ditentukan tarifnya) sambil menahan daftar nilai dan kertas ujian mahasiswa. Ternyata dosen yang bersangkutan mengabaikan kode etik akademiknya.
Seharusnya pemenuhan kebutuhan itu dapat dipenuhi dengan melakukan kerja ekstra apa saja yang dapat menjadi sumber penghasilan tambahan, baik berkenaan dengan profesi maupun diluar profesi, misalnya menjadi dosen luar biasa, pemimpin disuatu PTS, konsultan hukum, melaksanakan proyek penelitian atau pengabdian kepada masyarakat. Kerja keras adalah kodrat manusia dan ini menjadi lambang martabat manusia. Semua hal ini merupakan sumber penghasilan tanpa melanggar kode etik profesi.
(d) Karena Lemah Iman
Salah satu syarat menjadi profesional itu adalah taqwa kepada TUHAN Yang Maha Esa, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-NYA. Ketaqwaan ini adalah dasar moral manusia. Jika manusia mempertebal iman dengan taqwa, maka di dalam diri akan tertanam nilai moral yang menjadi rem untuk berbuat buruk. Dengan taqwa manusia makin sadar bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan keburukan. Sesungguhnya TUHAN itu Maha Adil. Dengan taqwa kepada TUHAN Yang Maha Es,. profesional memiliki benteng moral yang kuat, tidak mudah tergoda dan tergiur dengan bermacam ragam bentuk materi disekitarnya. Dengan iman yang kuat kebutuhan akan terpenuhi secara wajar dan itulah kebahagiaan sejatinya.
2. Upaya Untuk Mematuhi Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah bagian dari hukum positif, tetapi tidak memiliki upaya pemaksa yang keras seperti pada hukum positif yang bertaraf undang-undang. Hal ini merupakan kelemahan kode etik profesi bagi profesional yang lemah iman. Untuk mengatasi kelemahan ini, maka upaya alternatif yang dapat ditempuh ialah melakukan upaya pemaksa yang keras ke dalam kode etik profesi.
Alternatif tersebut dapat di tempuh dengan dua cara, yaitu memasukan klausula penundukan pada hukum positif undang-undang di dalam rumusan kode etik profesi, atau legalisasi kode etik profesi melalui pengadilan negeri setempat. kedua upaya tersebut dapat kita uraikan berikut ini .
(a) Klausula Penundukan Pada Undang-Undang
Setiap undang-undang mencantumkan dengan tegas sanksi yang diancamkan kepada pelanggarnya. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi warga , tidak ada jalan lain kecuali taat, jika terjadi pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang cukup memberatkan atau merepotkan baginya. Ketegasan sanksi undang-undang ini lalu diproyeksikan kepada rumusan kode etik profesi yang memberlakukan sanksi undang-undang kepada pelanggarnya.
(b) Legalisasi Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah semacam perjanjian bersama semua anggota bahwa mereka berjanji untuk mematuhi kode etik yang telah dibuat bersama. Dalam rumusan kode etik tersebut dinyatakan, apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan oleh dewan kehormatan, dan kewajiban mana yang harus diselesaikan oleh pengadilan. Untuk memperoleh legalisasi, ketua profesi yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat agar kode etik itu disahkan dengan akta penetapan pengadilan yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggota untuk mematuhi kode etik itu. Jadi kekuatan berlaku dan mengikat kode etik mirip dengan akta perdamaian yang dibuat oleh hakim. Apabila ada yang melanggar kode etik, maka dengan surat perintah, pengadilan memaksakan pemulihan itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar